Istilah pendidikan berasal dari kata didik dengan
memberinya awalan "pe" dan akhiran "kan" yang
mengandung arti perbuatan (hal, cara dan sebagainya). Istilah pendidikan ini
semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu paedagogie, yang berarti
bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris dengan education yang berarti pengembangan atau
bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan dengan tarbiyah,
yang berarti pendidikan.[1]
Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan
yang dilakukan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan
rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.[2]
Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan yaitu
tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya pendidikan yaitu
menuntun kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai
manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan
kebahagian yang setinggi-tingginya.[3]
Dari semua definisi itu dapat disimpulkan bahwa
pendidikan adalah sebuah kegiatan yang dilakukan dengan sengaja dan terencana
yang dilaksanakan oleh orang dewasa yang memiliki ilmu dan keterampilan kepada
anak didik, demi terciptanya insan kamil.
Pendidikan yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah
pendidikan agama Islam. Adapun kata Islam dalam istilah pendidikan Islam
menunjukkan sikap pendidikan tertentu yaitu pendidikan yang memiliki
warna-warna Islam.
Menurut hasil seminar pendidikan agama Islam se
Indonesia tanggal 7-11 Mei 1960 di Cipayung Bogor menyatakan: Pendidikan agama
Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan jasmani dan rohani menurut ajaran
Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi
berlakunya semua ajaran Islam.[4]
Sedangkan menurut Zakiah Daradjat, pendidikan Agama
Islam adalah: pendidikan dengan melalui ajaran-ajaran agama Islam, yaitu berupa
bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari
pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama
Islam yang telah diyakininya secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama
Islam itu sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan
hidup di dunia dan di akhirat kelak.[5]
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa pendidikan Agama Islam adalah suatu proses bimbingan jasmani dan rohani
yang berlandaskan ajaran Islam dan dilakukan dengan kesadaran untuk mengembangkan
potensi anak menuju perkembangan yang maksimal, sehingga terbentuk kepribadian
yang memiliki nilai-nilai Islam.
Dalam firman Allah SWT mengatakan:
أَبْصَارَ وَالأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
وَاتَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ الْسَّمْعَ اللّهُ أَخْرَجَكُم مِّن
بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لوَاَ
Artinya:
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS.An-Nahl/16:78)
Pendidikan Islam erat kaitannya dengan pembinaan. Pembinaan
dapat diartikan sebagai: pengarahan, dan pengajaran dan pendidikan.”[6] Hal ini berarti bahwa pendidikan mengandung
aktivitas atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang (pendidik) kepada orang
lain (terdidik) dalam mengembangkan potensi kepribadian sehingga dapat tumbuh
dan berkembang secara wajar. Di mana pertumbuhan dan perkembangan itu
diharapkan menuju ke arah kesempurnaan dan kedewasaan anak.
Abdul Halim
Soebahar[7]
menambahkan, bahwa pembinaan atau pendidikan adalah:
“Merupakan kebutuhan yang urgen bagi manusia dalam mempertahankan dan
melangsungkan kehidupannya. Dalam kehidupan manusia pendidikan merupakan salah
satu aspek penting dalam membentuk generasi mendatang. Maka dengan pendidikan
diharapkan dapat mengout put (menghasilkan) manusia yang berkualitas,
bertanggung jawab, dan mampu mengantisipasi masa depan”.
Dari pendapat yang dikemukakan di atas bahwa
pendidikan merupakan sebuah kebutuhan bagi kehidupan manusia. Pendidikan dapat
menciptakan manusia yang berkualitas, bertanggung jawab dan meraih masa depan
dengan pengetahuan yang diperoleh setelah belajar di sekolah karena dengan
pendidikan akan tercipta “manusia-manusia raksasa”[8] ,
yaitu manusia yang berkualitas, bertanggung jawab, dan mampu mengantisipasi
kehidupan masa depan.
Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa
pendidikan sesungguhnya merupakan sebuah proses dan usaha yang dilakukan oleh
orang dewasa kepada orang yang belum dewasa untuk membentuk kepribadian anak
tersebut menjadi seorang yang dewasa sehingga mampu bersikap dan berprilaku
yang positif di dalam kehidupannya.
Kedua pendapat yang diutarakan di atas maka
dapat dipahami bahwa pendidikan adalah usaha yang dilakukan secara sadar oleh
orang dewasa dalam membina potensi-potensi anak dalam mencapai terbinanya
kepribadian yang baik. Dalam hal ini pendidikan itu dapat saja dilakukan atau
berlangsung secara formal dan non-formal.
Dalam
pengertian pendidikan yang berlangsung secara formal, maka selaku pembina atau
pembimbing dalam hal ini dilakukan oleh seorang pendidik (guru), maka lembaga
pendidikan formal hendaknya bukan saja sebagai legitimasi bagi
lulusan-lulusannya, tetapi harus menjadi wadah bagi bakal manusia-manusia
raksasa. Sedangkan pendidikan yang diselenggarakan secara non-formal, maka
selaku pembimbing bukan hanya guru, akan tetapi dapat dilakukan oleh tokoh
agama, tokoh pendidikan serta masyarakat yang dianggap memiliki kapasitas untuk
melakukannya.
Dalam
pengertian pendidikan yang berlangsung secara formal di lembaga-lembaga pendidikan
dapat dikemukakan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang menjelaskan
bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.[9]
Dalam
penyelenggaraan pendidikan secara formal seperti yang dikemukakan di atas, maka
anak didik benar-benar dipersiapkan dengan sejumlah pengetahuan melalui proses
pembelajaran, sehingga anak didik memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
kecerdasan, keterampilan, dan pengendalian diri untuk dapat hidup mengambil
peranan di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara. Dalam hal ini
kemandirian hidup benar-benar dipersiapkan (reserve), sehingga terbentuknya kedewasaan pribadi anak.
Dengan
demikian semakin jelaslah bahwa sasaran dalam penyelenggaraan pendidikan
tersebut adalah anak didik. Oleh karenanya pendidikan dapat mempengaruhi anak
guna menemukan keberadaan diri di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang
diharapkan akan memiliki peran. Di sinilah letak kedewasaan tersebut akan
diwujudkan.
Sementara itu
dalam penyelenggaraan pendidikan agama, maka tentu pula memiliki batasan atau
pengertian tentang pendidikan agama tersebut. Dalam hal ini pendidikan agama
menurut Zuhairini[10]
adalah “Usaha-usaha yang dilakukan seseorang terhadap orang lain dalam
memberikan bimbingan, arahan dan pengajaran tentang agama agar anak dapat
mengetahui, memahami dan mengamalkan ajaran agama dalam kehidupannya dengan
baik dan benar”.
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa pendidikan agama mengandung arti usaha yang
dilakukan seseorang kepada orang lain dalam memberikan atau menyampaikan materi
agama, di mana agar materi tersebut dapat diketahui, dipahami dan untuk
direalisasikan (baca: diamalkan) di dalam kehidupannya secara baik dan
benar.
Senada dengan hal itu, al-Rasyidin berpendapat bahwa
“Pendidikan agama (Islam) merupakan proses membimbing dan membina fitrah anak
didik secara maksimal dan bermuara pada terciptanya kepribadian yang paripurna.
Sehingga dengan demikian diharapkan akan mampu memadukan fungsi iman, ilmu, dan
amal secara integral bagi terbinanya kehidupan yang harmonis, baik dunia maupun
akhirat”.[11]
Hal ini berarti bahwa pendidikan
agama tidak hanya menekankan pada kemampuan kognitif saja, akan tetapi
kemampuan afektif dan psikomotorik juga ditekankan, sehingga bersinergi antara
iman, ilmu, dan amal anak di dalam kehidupan dunia dan akhirat.
[1]Prof. DR. H. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
Kalam Mulia, 2004) Cet ke-4, h. 1
[2]Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan
Islam, (Bandung: PT. Al-maarif, 1981), cet ke-5, h. 19
[3]Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), Cet ke-4 h. 4
[4]Dra. Hj. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam,
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), Cet. ke-2, h. 11
[5] Dr. Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam,
(Jakarta:Bumi Aksara, 1992), cet ke-2, h. 86
[6]WJS.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1987, hlm.752.
[7]
Abd.Halim Soebahar, Wawasan Baru
Pendidikan Islam, cet.1, Jakarta: Kalam Mulia, 2002,hlm.13-14
[8]Hasan
Langgulung, Pendidikan Islam
dalam Abad ke- 21, Ed. Revisi, Cet. 2, Jakarta: Alhusna Zikra, 2001, hlm.
67.
[9]Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003, Cet. 1, Jakarta :Departemen Pendidikan Nasional, 2003,
hlm.5.
[10]Zuhairini,
Metodik Khusus Pengajaran Agama, Surabaya: Usaha Nasional, 1983, hlm.
27.
[11]Al-Rasyidin
& Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan historis,
Teoritis, dan Praktis, Cet.2, Jakarta: Ciputat Press, 2005, hlm. 38.
Posting Komentar