SKRIPSI ILMIAH
Deskripsi Diri, Wahana Membaca

Pengertian Pendidikan Agama

15.24
Istilah pendidikan berasal dari kata didik dengan memberinya awalan "pe" dan akhiran "kan" yang mengandung arti perbuatan (hal, cara dan sebagainya). Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu paedagogie, yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan education yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan dengan tarbiyah, yang berarti pendidikan.[1] Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan yang dilakukan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.[2]
Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya pendidikan yaitu menuntun kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagian yang setinggi-tingginya.[3]
Dari semua definisi itu dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah sebuah kegiatan yang dilakukan dengan sengaja dan terencana yang dilaksanakan oleh orang dewasa yang memiliki ilmu dan keterampilan kepada anak didik, demi terciptanya insan kamil.
Pendidikan yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah pendidikan agama Islam. Adapun kata Islam dalam istilah pendidikan Islam menunjukkan sikap pendidikan tertentu yaitu pendidikan yang memiliki warna-warna Islam.
Menurut hasil seminar pendidikan agama Islam se Indonesia tanggal 7-11 Mei 1960 di Cipayung Bogor menyatakan: Pendidikan agama Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan jasmani dan rohani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.[4]
Sedangkan menurut Zakiah Daradjat, pendidikan Agama Islam adalah: pendidikan dengan melalui ajaran-ajaran agama Islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang telah diyakininya secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama Islam itu sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat kelak.[5]
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Agama Islam adalah suatu proses bimbingan jasmani dan rohani yang berlandaskan ajaran Islam dan dilakukan dengan kesadaran untuk mengembangkan potensi anak menuju perkembangan yang maksimal, sehingga terbentuk kepribadian yang memiliki nilai-nilai Islam.
Dalam firman Allah SWT mengatakan:
أَبْصَارَ وَالأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ وَاتَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ الْسَّمْعَ اللّهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لوَاَ
Artinya:
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS.An-Nahl/16:78)

Pendidikan Islam erat kaitannya dengan pembinaan. Pembinaan dapat diartikan sebagai: pengarahan, dan pengajaran dan pendidikan.”[6]  Hal ini berarti bahwa pendidikan mengandung aktivitas atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang (pendidik) kepada orang lain (terdidik) dalam mengembangkan potensi kepribadian sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara wajar. Di mana pertumbuhan dan perkembangan itu diharapkan menuju ke arah kesempurnaan dan kedewasaan anak.
Abdul Halim Soebahar[7] menambahkan, bahwa pembinaan atau pendidikan adalah:
“Merupakan kebutuhan yang urgen bagi manusia dalam mempertahankan dan melangsungkan kehidupannya. Dalam kehidupan manusia pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam membentuk generasi mendatang. Maka dengan pendidikan diharapkan dapat mengout put (menghasilkan) manusia yang berkualitas, bertanggung jawab, dan mampu mengantisipasi masa depan”.

Dari pendapat yang dikemukakan di atas bahwa pendidikan merupakan sebuah kebutuhan bagi kehidupan manusia. Pendidikan dapat menciptakan manusia yang berkualitas, bertanggung jawab dan meraih masa depan dengan pengetahuan yang diperoleh setelah belajar di sekolah karena dengan pendidikan akan tercipta “manusia-manusia raksasa”[8] , yaitu manusia yang berkualitas, bertanggung jawab, dan mampu mengantisipasi kehidupan masa depan.  
Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa pendidikan sesungguhnya merupakan sebuah proses dan usaha yang dilakukan oleh orang dewasa kepada orang yang belum dewasa untuk membentuk kepribadian anak tersebut menjadi seorang yang dewasa sehingga mampu bersikap dan berprilaku yang positif di dalam kehidupannya.
 Kedua pendapat yang diutarakan di atas maka dapat dipahami bahwa pendidikan adalah usaha yang dilakukan secara sadar oleh orang dewasa dalam membina potensi-potensi anak dalam mencapai terbinanya kepribadian yang baik. Dalam hal ini pendidikan itu dapat saja dilakukan atau berlangsung secara formal dan non-formal.
Dalam pengertian pendidikan yang berlangsung secara formal, maka selaku pembina atau pembimbing dalam hal ini dilakukan oleh seorang pendidik (guru), maka lembaga pendidikan formal hendaknya bukan saja sebagai legitimasi bagi lulusan-lulusannya, tetapi harus menjadi wadah bagi bakal manusia-manusia raksasa. Sedangkan pendidikan yang diselenggarakan secara non-formal, maka selaku pembimbing bukan hanya guru, akan tetapi dapat dilakukan oleh tokoh agama, tokoh pendidikan serta masyarakat yang dianggap memiliki kapasitas untuk melakukannya.
Dalam pengertian pendidikan yang berlangsung secara formal di lembaga-lembaga pendidikan dapat dikemukakan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang menjelaskan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.[9]
Dalam penyelenggaraan pendidikan secara formal seperti yang dikemukakan di atas, maka anak didik benar-benar dipersiapkan dengan sejumlah pengetahuan melalui proses pembelajaran, sehingga anak didik memiliki kekuatan spiritual keagamaan, kecerdasan, keterampilan, dan pengendalian diri untuk dapat hidup mengambil peranan di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara. Dalam hal ini kemandirian hidup benar-benar dipersiapkan (reserve), sehingga  terbentuknya kedewasaan pribadi anak.
Dengan demikian semakin jelaslah bahwa sasaran dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut adalah anak didik. Oleh karenanya pendidikan dapat mempengaruhi anak guna menemukan keberadaan diri di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang diharapkan akan memiliki peran. Di sinilah letak kedewasaan tersebut akan diwujudkan.
Sementara itu dalam penyelenggaraan pendidikan agama, maka tentu pula memiliki batasan atau pengertian tentang pendidikan agama tersebut. Dalam hal ini pendidikan agama menurut Zuhairini[10] adalah “Usaha-usaha yang dilakukan seseorang terhadap orang lain dalam memberikan bimbingan, arahan dan pengajaran tentang agama agar anak dapat mengetahui, memahami dan mengamalkan ajaran agama dalam kehidupannya dengan baik dan benar”.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendidikan agama mengandung arti usaha yang dilakukan seseorang kepada orang lain dalam memberikan atau menyampaikan materi agama, di mana agar materi tersebut dapat diketahui, dipahami dan untuk direalisasikan (baca: diamalkan) di dalam kehidupannya secara baik dan benar.
Senada dengan hal itu, al-Rasyidin berpendapat bahwa “Pendidikan agama (Islam) merupakan proses membimbing dan membina fitrah anak didik secara maksimal dan bermuara pada terciptanya kepribadian yang paripurna. Sehingga dengan demikian diharapkan akan mampu memadukan fungsi iman, ilmu, dan amal secara integral bagi terbinanya kehidupan yang harmonis, baik dunia maupun akhirat”.[11]
Hal ini berarti bahwa pendidikan agama tidak hanya menekankan pada kemampuan kognitif saja, akan tetapi kemampuan afektif dan psikomotorik juga ditekankan, sehingga bersinergi antara iman, ilmu, dan amal anak di dalam kehidupan dunia dan akhirat.


[1]Prof. DR. H. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2004) Cet ke-4, h. 1
[2]Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-maarif, 1981), cet ke-5, h. 19
[3]Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), Cet ke-4 h. 4
[4]Dra. Hj. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), Cet. ke-2, h. 11
[5] Dr. Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Bumi Aksara, 1992), cet ke-2, h. 86
[6]WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1987, hlm.752.
[7] Abd.Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam, cet.1, Jakarta: Kalam Mulia, 2002,hlm.13-14
[8]Hasan Langgulung, Pendidikan Islam dalam Abad ke- 21, Ed. Revisi, Cet. 2, Jakarta: Alhusna Zikra, 2001, hlm. 67.
[9]Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, Cet. 1, Jakarta :Departemen Pendidikan Nasional, 2003, hlm.5. 

[10]Zuhairini, Metodik Khusus Pengajaran Agama, Surabaya: Usaha Nasional, 1983, hlm. 27. 

[11]Al-Rasyidin & Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan historis, Teoritis, dan Praktis, Cet.2, Jakarta: Ciputat Press, 2005, hlm. 38.
Read On 0 komentar

Aspek-Aspek Pendidikan Agama Islam

15.24
Pada hakekatnya proses pendidikan tidak hanya bersifat menyampaikan ilmu pengetahuan  (transfer of knowledge  an sich), tetapi dalam ruang lingkup yang luas pendidikan harus menyentuh  pada pembinaan fitrah anak agar menjadi manusia yang sempurna (Insan kamil). Oleh karena itu di dalam Islam tanggung jawab pendidikan berlangsung seumur hidup (Long Life Education). Secara praktis pendidikan Islam menjadi kewajiban orang tua dan guru di samping menjadi tanggung jawab yang harus dipikul oleh satu generasi untuk disampaikan kepada  generasi berikutnya, dan dijalankan para pendidik dalam pendidikan anak. Dalam kaitan ini salah satu kegiatan yang dijumpai pada setiap proses pendidikan adalah proses belajar.
Aktivitas ini harus berjalan secara kontinu dalam kehidupan anak yang harus juga mendapatkan perhatian, pembinaan serta pengarahan dari semua unsur pelaksana pendidikan baik di sekolah maupun dalam rumah tangga. Karena bagaimanapun konsep pendidikan seumur hidup itu berlangsung dalam pendidikan informal, formal, dan non-formal yang saling melengkapi antara satu sama lain.[1]
Hal ini berarti bahwa jalur pendidikan informal an sich tidak cukup untuk mentransformasi pendidikan. Peran sosial sangat berperan penting dalam proses transformasi bidang kebudayaan, di samping pembinaan fitrah individu.
Berbicara masalah transformasi kebudayaan ini, Hasan Langgulung menegaskan bahwa: “Pendidikan adalah suatu tindakan yang diambil oleh sesuatu masyarakat, kebudayaan atau peradaban untuk memelihara kelanjutan hidupnya.”[2] 
Di dalam kehidupan masa depan di dalam masyarakat peranan-peranan manusia berkualitas sangat dibutuhkan, sehingga kelangsungan peradaban dapat berfungsi secara lebih optimal dalam keseluruhan aktivitas kehidupannya. Dalam ajaran Islam, mencari ilmu pengetahuan dan mengenyam pendidikan merupakan sebuah kewajiban setiap muslim dan muslimah.
Berdasarkan pembahasan di atas jelaslah bahwa proses menuntut ilmu pengetahuan itu merupakan sebuah keharusan. Islam tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam menuntut ilmu. Hal ini dapat kita telusuri dalam historis, bahwa perempuan juga memiliki kontribusi yang signifikan dalam kancah pendidikan Islam. Di antara tokoh-tokoh perempuan itu, seperti: Aisyah yang meriwayatkan beberapa ribu hadits. Sehingga periwayat-periwayat hadits yang lain mendapatkan hadits Rasulullah saw melalui Aisyah. Hal ini karena Aisyah adalah istri Rasulullah yang hidupnya selalu bersama-sama dengan beliau.
Pembinaan agama Islam pada mulanya didapatkan dari lingkungan keluarga. Dari keluarga maka diteruskan di sekolah dan masyarakat. Ketiga sumber ini saling bersinergi untuk memberikan pembinaan aspek-aspek pribadi (aspek-aspek pendidikan).
Aspek-aspek pendidikan agama berorientasi pada pembinaan pribadi, di mana aspek-aspek tersebut meliputi:
  1. Aspek jasmani
  2. Aspek akal
  3. Aspek akidah
  4. Aspek akhlak
  5. Aspek kejiwaaan
  6. Aspek keindahan
  7. Aspek kebudayaan.[3]
Di sinilah yang dimaksudkan pendidikan yang mengarahkan pembinaan seluruh aspek pribadi agar terpenuhi tujuan pembentukan kepribadian yang utuh. Maka proses pendidikan dalam keluarga mengutamakan pembinaan kepribadian yang utuh, dengan mengandalkan pendidikan agama yang diberikan sejak dini.


[1]Fahran Idris, Dasar-Dasar Kependidikan, Penang: Angkasa, 1981, hlm. 58.    
[2]Hasan Langgulung, Pendidikan dan Kebudayaan Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1985, hlm. 91-92.
[3]Ahmad Tafsir, Pendidikan dalam Keluarga, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983, hlm. 50.

Read On 0 komentar

Tujuan Pendidikan Agama

15.21
Seiring dengan uraian yang telah dikemukan di atas, secara kontekstual sepertinya ada sesuatu tujuan dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut,  karena setiap usaha yang dilakukan secara sadar berarti dilandasi pada suatu tujuan yang jelas untuk dicapai oleh setiap subjek pendidikan tersebut.

Berbicara masalah tujuan, Sardiman A.M[1] berpendapat bahwa tujuan bermakna sebagai suatu usaha memberikan rumusan hasil yang diharapkan dari siswa/ subjek belajar, setelah menyelesaikan/ memperoleh pengalaman belajar. 

Ahmad D. Marimba[2] menambahkan bahwa tujuan dari penyelenggaraan pendidikan pada penyelenggaraan pendidikan agama islam adalah: “Terbentuknya pribadi yang utama, ditekankan pada pelaksanaan bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.”

Dari pendapat yang dikemukakan di atas maka dapat dipahami bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan agama (Islam), bertujuan membina pribadi anak guna terwujudnya pribadi yang sehat secara jasmani dan rohani , dalam artian terwujud insan yang seutuhnya.

Berkaitan dengan hal tersebut, secara Nasional pendidikan agama tidak dapat dipisahkan dengan penyelenggaraan pendidikan Nasional itu sendiri. Di mana tujuan penyelenggaraan pendidikan agama adalah mendukung sepenuhnya terhadap terwujudnya penyelenggaraan pendidikan Nasional.

Oleh karena itu tujuan pendidikan Nasional merupakan pedoman umum bagi pelaksanaan pendidikan dalam jenis dan jenjang pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan Nasional, diperlukan tujuan lainnya sebagai tujuan bawahannya.[3]  

Jika kita lihat di dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, bahwa “Pendidikan Nasional bertujuan mengembangkan potensi anak didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”[4]

Tampaknya antara tujuan pendidikan agama dengan pendidikan Nasional searah, dan tidak bertolak belakang. Yaitu sama-sama ingin menciptakan manusia yang sehat jasmani dan rohani, dalam artian tercapainya manusia yang seutuhnya.


[1]Sardiman A. M., Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar, Ed. 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007,  hlm. 57.
[2]Ahmad D.Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1985, hlm. 52. 
[3]Syaiful Bahri, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Cet.1, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, hlm. 24.
[4]Departemen Pendidikan Nasional, Op.,Cit., hlm. 8.
Read On 0 komentar

Strategi Think Talk Write

10.11

Suatu strategi pembelajaran yang diharapkan dapat menumbuh kembangkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematik siswa adalah strategi Think Talk Write (TTW).Strategi yang diperkenalkan oleh Huinker dan Laughlin ini pada dasarnya dibangun melalui berpikir, berbicara, dan menulis. Alur kemajuan strategi Think Talk Write (TTW) dimulai dari keterlibatan siswa dalam berpikir atau berdialog dengan dirinya sendiri setelah proses membaca, selanjutnya berbicara dan membagi ide dengan temannya sebelum menulis.

Strategi Think Talk Write (TTW) adalah strategi yang memfasilitasi latihan berbahasa secara lisan dan menulis dengan lancar. Strategi Think Talk Write (TTW) didasarkan pada pemahaman bahwa belajar adalah sebuah perlikau sosial. Strategi Think Talk Write (TTW) mendorong siswa untuk berpikir, berbicara dan kemudian menuliskan yang berkenaan dengan suatu topik. Strategi Think Talk Write (TTW) digunakan untuk mengembangkan tulisan dengan lancar dan melatih bahasa sebelum menuliskannya. Strategi Think Talk Write (TTW) memperkenalkan siswa untuk mempengaruhi dan memanipulasi ide-ide sebelum menuliskannya serta membantu siswa dalam mengumpulkan dan mengembangkan ide-ide melalui percakapan terstruktur.

Dalam kegiatan pembelajaran matematika sering ditemui bahwa ketika siswa diberikan tugas tertulis, siswa selalu mencoba untuk langsung menulis jawaban. Walaupun hal itu bukan sesuatu yang salah namun akan lebih bermakna jika dia terlebih dahulu melakukan kegiatan berpikir, merefleksikan dan menyusun ide-ide, serta menguji ide-ide itu sebelum memulai menulisnya. Strategi Think Talk Write (TTW) yang dipilih pada penelitian ini dibangun dengan memberikan waktu kepada siswa untuk melakukan kegiatan tersebut (berpikir, merefleksikan dan menyusun ide-ide, dan menguji ide-ide sebelum menulisnya). Suasana seperti ini lebih efektif jika dilakukan dalam kelompok heterogen dengan 3-5 siswa.

Adapun aktivitas siswa pada saat kegiatan Think Talk Write (TTW) berlangsung adalah sebagai berikut :

a.      Think
Menghadapi masalah seringkali menuntut kemampuan memperkirakan dan membuat kesimpulan yang bersifat baru, asli, cerdik dan mengagumkan dengan menggunakan proses berpikir imajinatif. Kemampuan semacam ini disebut dengan kemampuan berpikir kreatif (creative thinking).Jadi seorang yang mempunyai kemampuan berpikir kreatif haruslah mampu mengeksplorasi terhadap area, melakuikan pengamatan baru, perkiraan (prediksi) baru dan kesimpulan baru. (Sumiati dan Asra, 1974:137)

Menurut Wiederhold, membuat catatan berarti menganalisiskan tujuan isi teks dan memeriksa bahan-bahan yang ditulis. Selain itu, belajar rutin membuat/menulis catatan setelah membaca merangsang aktivitas berpikir sebelum, selama dan setelah membaca.Membuat catatan mempertinggikan pengetahuan siswa, bahkan meningkatkan keterampilan berpikir dan menulis. Salah satu manfaat dari proses ini adalah membuat catatan akan menjadi bagian integral dalam setting pembelajaran.[1]

Dalam tahap ini (Think) siswa secara individu membaca Lembaran Kerja Siswa (LKS) yang telah disediakan. Setiap siswa diberi kesempatan untuk memahami Lembaran Kerja Siswa (LKS) dan membuat catatan secara individual untuk dibawa ke forum diskusi.

b.      Talk
Talk (berbicara atau diskusi). Dalam tahap ini siswa diberi kesempatan untuk membicarakan tentang penyelidikannya pada tahap pertama. Selain itu, siswa juga merefleksikan, menyusun serta menguji (negoisasi, sharing) ide-ide dalam kegiatan diskusi kelompok. Kemajuan komunikasi siswa akan terlihat pada dialognya dalam berdiskusi baik dalam bertukar ide dengan orang lain ataupun refleksi mereka sendiri yang diungkapkannya kepada orang lain.

Dalam kelas yang terstruktur secara kerjasama, siswa mendapati bahwa mereka harus bekerjasama untuk mencapai sasaran bersama mereka.Seseorang dalam kelompok kecil diberikan informasi atau materi yang menjadi tanggung jawab semua anggota kelompok.Dalam lingkungan belajar yang bekerjasama, kegiatan ini menghasilkan ketergantungan yang positif antar siswa. Persepsi siswa adalah sasaran pembelajaran akan tercapai hanya jika semua anggota kelompok berhasil. Oleh karena itu siswa mencari hasil yang bermanfaat untuk semua yang bekerja bersama mereka.Untuk mencapai hasil ini, mereka perlu saling mendiskusikan informasi atau bahan materi, saling membantu memahaminya, saling mendorong bekerja keras.

Talk menjadi penting karena : (1) apakah itu tulisan, gambaran, isyarat atau percakapan merupakan perantara ungkapan matematis sebagai bahasa manusia, (2) pemahaman matematika dibangun melalui interaksi dan percakapan antara sesama individual yang merupakan aktivitas sosial yang bermakna, (3) cara utama partisipasi komunikasi dalam matematika adalah memalui talk. Siswa menggunakan bahasa untuk menyajikan ide kepada temannya, membangun teori bersama, sharing strategi solusi dan membuat definisi, (4) pembentukan ide melalui proses talking, (5) internalisasi ide (dibentuk melalui berpikir dan memecahkan masalah), (6) meningkatkan dan menilai kualitas berpikir.

c.       Write
Selanjutnya fase write yaitu menuliskan hasil diskusi pada lembar kerja yang disediakan (Lembar Kerja Siswa). Aktivitas menulis berarti mengkonstruksi ide, karena setelah berdiskusi atau berdialog antar teman dan kemudian mengungkapkannya melalui tulisan. Menulis dalam matematika membantu merealisasikan salah satu tujuan pembelajaran, yaitu pemahaman siswa tentang materi yang ia pelajari. Aktivitas menulis akan membantu siswa dalam membuat hubungan dan juga memungkinkan guru melihat pengembangan konsep siswa.

Aktivitas siswa selama fase ini adalah: (1) menulis solusi terhadap masalah/pertanyaan yang diberikan termasuk perhitungan, (2) mengorganisasikan semua pekerjaan langkah demi langkah, baik penyelesaiannya ada yang menggunakan diagram, grafik ataupun table agar mudah dibaca dan ditindaklanjuti, (3) mengoreksi semua pekerjaan sehingga yakin tidak ada pekerjaan ataupun perhitungan yang ketinggalan, (4) meyakini bahwa pekerjaannya yang terbaik yaitu lengkap, mudah dibaca dan terjamin keasliannya.

Dalam fase ini terlihat bahwa siswa dituntut untuk terampil dalam menyimpulkan materi yang baru didapat dengan kata-kata mereka sendiri.Kemampuan mereka dalam menyimpulkan hasil studi menunjukkan bahwa mereka memiliki keterampilan dalam belajar.


[1] Martinis Yamin & Bansu Ansari I, op.cit., h. 85
Read On 0 komentar

Total Tayangan Halaman

BLOGROLL